Oleh.
PB AMGPM
I. PENGANTAR
Sebagai
wadah tunggal pembinaan pemuda Gereja Protestan Maluku [GPM] Angkatan Muda
Gereja Protestan Maluku [AMGPM] mengemban tugas bergereja secara integral.
Relasi pelayanan dengan GPM diterjemahkan dalam Amanat Panggilan dan Pelayanan
AMGPM sebagaimana termaktub dalam AD/ART AMGPM, bahwa AMGPM mengemban misi
pelayanan yang sama dengan misi pelayanan GPM. Dengan kata lain, AMGPM adalah
wujud dari GPM secara fungsional. Malah sebagai wadah tunggal pembinaan pemuda
GPM, semua warga GPM dalam kategori usia 17-45 tahun dibina melalui AMGPM.
Sadar akan realitas itu, AMGPM pun
terpanggil untuk menata dirinya seirama dengan langgam perubahan GPM itu
sendiri. Sejak tahun 1983, AMGPM telah meredesain perencanaan pelayanannya
mengikuti irama GPM, yakni ketika pemberlakuan PIP/RIPP GPM Dasawarsa pertama
1983-1993. Garis Besar Pokok Program AMGPM diusahakan untuk selaras dengan
konsep-konsep pokok pelayanan gereja dalam PIP/RIPP dimaksud.
AMGPM telah mentradisikan perencanaan
itu selama ini, sebagai bukti bahwa wadah tunggal ini selalu ada dalam kerangka
berjalan bersama dengan GPM sebagai ‘orang tua kandungnya’. Artinya dari sisi
perencanaan pelayanan AMGPM mesti dipandang dan diperlakukan serupa dengan
wadah-wadah pelayanan dalam gereja, walau secara struktural AMGPM mandiri dalam
menata dan mengatur dirinya. Ini sekaligus menunjukkan bahwa dalam sistem
pembinaan umat GPM, AMGPM memiliki kekhasan tersendiri.
Pasca Sidang Sinode ke-36, terjadi
perubahan-perubahan mendasar yang terkait dengan sistem perencanaan pelayanan
gereja. Tata Gereja dan Peraturan Pokok GPM mengamanatkan perubahan yang cukup
radikal terhadap pola-pola perencanaan pelayanan GPM. Dari perubahan itu,
secara kritis mau ditekankan bahwa terdapat dua dokumen perencanaan pelayanan
di GPM yang masih perlu dibenahi hubungannya satu sama lain.
PIP/RIPP sebagai dokumen perencanaan
gereja di satu sisi dan Renstra Jemaat di sisi lainnya. Dua dokumen itu menjadi
sandaran normatif dalam perencanaan pelayanan GPM, dan tentu menimbulkan
persoalan tersendiri di level Jemaat sebagai organisasi yang kini bertindak
langsung menyusun Renstra Jemaat. Klasis pada level menengah malah berada pada
posisi transisi yang cukup problematis, yaitu mendesain perencanaannya dengan
tetap berpola pada PIP/RIPP di sisi tertentu, dan Renstra Jemaat di sisi
lainnya. Belum lagi penegasan pasal 29 Tata Gereja GPM bahwa Renstra Jemaat [siap
atau tidak] diberlakukan di tahun 2012. Artinya tahun ini menjadi tahun yang
‘berat’ dalam mempersiapkan jemaat-jemaat menerapkan dan memberlakukan Renstra
Jemaat sebagai dokumen perencanaan; sekaligus mempersiapkan Klasis berbiasa
dalam ritme baru perencanaan gereja.
Hal itu yang menjadi konteks secara
internal yang akan diulas dalam tulisan ini. Secara eksternal, perencanaan
pelayanan GPM dan AMGPM tentu tidak bisa dibangun terlepas dari desain
perubahan di Lease secara khusus, Maluku Tengah dan Maluku serta Maluku Utara
secara umum. Dengan demikian tulisan ini menjadi semacam catatan kritis dan
reposisi AMGPM dalam dinamika perubahan di GPM dan masyarakat Lease, Maluku
Tengah, Maluku dan Maluku Utara.
II. BAGAIMANA
AMGPM?
AMGPM
secara kritis membaca dinamika perubahan sistem perencanaan pelayanan GPM
dengan tetap melihat pada beberapa aspek pokok organisasi, seperti:
a.
Karakteristik
kewilayahan GPM dan AMGPM. Keberadaan Ranting-ranting [yang menyatu dengan
jemaat-jemaat GPM] di kawasan pulau-pulau di Provinsi Maluku dan Maluku Utara
menunjukkan bahwa perlu usaha menata relasi antar-ranting, antar-cabang,
antar-daerah, antar-wilayah, dengan penekanan pada pembinaan/pendidikan kader
secara tersistem. Agenda ini masih dikerjakan di AMGPM sejak kurun waktu yang
lampau dan masih terus dikembangkan dengan tujuan terbangun kesadaran misi
bersama agar AMGPM dapat bergerak bersama dalam seluruh tugas pelayanannya.
b.
Kapasitas
sumber daya organisasi. Difergensi kader secara sosial dan pendidikan menjadi
fenomena tersendiri di AMGPM. Anggota Ranting memiliki latar belakang
pendidikan yang berbeda dan bervariasi dari SD sampai Perguruan Tinggi. Sistem
perencanaan yang sudah terbangun selama ini dinilai cukup mengakomodasi
perbedaan karakteristik kader seperti itu, dan masih cukup relevan.
c.
Dari
sisi dokumen perencanaan, Kongres menetapkan GBPP yang menjadi acuan program
pelayanan AMGPM. Sesuai dengan AD/ART, setiap badan legislatif di dalam tiap
level organisasi bertugas pula menetapkan GBPP yang disesuaikan dengan konteks
masing-masing Daerah, Cabang dan Ranting. Artinya ruang desentralisasi sudah
tersistem sejak GBPP itu sendiri. Program di tiap level organisasi selama ini
dirancang sesuai dengan kebutuhan dan permasalahan di masing-masing lingkup
organisasi. Program bersama telah terbangun melalui program-program rutin dan
yang menjadi esensi dari tugas organisasi.
d.
MPP
ke-25 AMGPM Tahun 2011 telah menetapkan Rencana Pengembangan Organisasi [RPO]
sebagai penjabaran teknis dari GBPP untuk memandu proses penyusunan program
pelayanan AMGPM tahun 2012-2015, dengan program fokus yakni Pendidikan Kader
dan Pemberdayaan Potensi Kader di segala aspek.
Jadi
ketika GPM menerapkan Renstra Jemaat, apakah AMGPM harus pula berubah seiring
dengan perubahan itu? AMGPM sudah menata ritme perencanaannya secara baru
dengan memperhatikan realitas diri dan organisasnya tadi. RPO merupakan sebuah
panduan perencanaan yang diharapkan membangun sistem perencayaan secara
bersama-sama dan desentral. Tujuannya ada dinamika bertumbuh bersama mulai dari
Ranting, Cabang dan Daerah di Maluku dan Maluku Utara. Dari RPO itu, di tahun
2015 akan dibangun sistem yang baru yang diharapkan dapat diselaraskan pula
dengan perubahan perencanaan GPM kini dan nanti. Karena itu kami menganggap,
pertanyaan tentang bagaimana kesiapan AMGPM dalam dinamika perubahan
perencanaan GPM mestinya diperluas dengan pertanyaan bagaimana kesiapan Jemaat
dan Klasis dalam merespon dinamika perubahan perencanaan GPM sampai tahun 2015
itu sendiri.
III.
GELOMBANG-GELOMBANG PERUBAHAN BESAR LEASE:
Perlukah Reposisi AMGPM?
Percakapan
tentang perubahan dalam konteks di Lease kiranya dilihat antara perubahan dalam
gereja dan perubahan pembangunan di Lease dan/atau Maluku Tengah. Gereja, dalam
hal ini Klasis Pulau-pulau Lease dan Lease sebagai sebuah Unit Sosial dalam
Pemerintahan di Maluku Tengah sedang ada dalam kondisi transisi yang tidak bisa
diabaikan.
Artinya Lease menjadi suatu Lingkungan
Strategis yang tidak bisa diabaikan pula dalam strategi perencanaan pelayanan
gereja dan organisasi sosial apa pun. Orang-orang Lease berada di ambang
transisi sejarah, bergereja, dan pembangunan. Bahkan perubahan perencanaan
Gereja [GPM] di Lease mesti dikaitkan juga dengan sejauhmana rencana perubahan
kewilayahan di Lease itu sendiri.
a.
Gelombang I;
Perubahan Peta Wilayah Pemerintahan
Pemekaran
Kecamatan di pulau-pulau Lease merupakan kebutuhan penataan dan penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, khusus
di era otonomisasi. Hal itu dapat dimaknai pula sebagai adanya semacam
keinginan baik [good will] dari
Pemerintah untuk memperlebar akses kesejahteraan dan mempersempit jarak
kesenjangan antar-wilayah dan antar-masyarakat.
Persoalannya
ialah apakah pemekaran kecamatan-kecamatan itu diikuti oleh perbaikan
infrastruktur ekonomi dan peningkatan kualitas layanan kebutuhan dasar
masyarakat ataukah hanya sebagai sebuah usaha pembagian kekuasaan. Sebagai
kawasan pulau-pulau, perhubungan laut menjadi prioritas dan harus dikembagkan
sebagai titik transisi perhubungan antar-kabupaten dalam provinsi.
Namun bagaimana
realitasnya di dalam pulau-pulau di Lease? Perhubungan darat pun belum didukung
oleh sarana-prasarana jalan dan jembatan yang memadai. Hal serupa tampak pula
pada perhubungan laut termasuk ‘kelangkaan’ dermaga dan pelabuhan. Jadi perlu
mendorong munculnya good will dan political will dari Pemerintah untuk memfasilitasi
perubahan radikal di kawasan ini.
b.
Gelombang II;
‘Omba’ Pembangunan ‘Seng Pica di Pinggir Pante’
Lease dapat
disebut sebagai situs peradaban merdeka di Nusantara. Perjuangan Thomas
Matulessi, Philip Latumahina, Martha Christina Tiahahu, dll merupakan sebuah
gerakan peradaban merdeka dalam masa kolonial di Nusantara. Bangkitnya
peperangan melawan penjajah di Nusantara tidak bisa dipungkiri terinspirasi
dari berita jatuhnya Benteng Durstede di Saparua ke Batavia. Dengan demikian
Saparua dan Lease secara umum menjadi situs sejarah merdeka. Namun dalam jangka
waktu yang panjang, pulau ini dilupakan. Sebuah penyangkalan sejarah terbentuk
di dalam matinya kesadaran sejarah bangsa Indonesia. Saparua tidak bertumbuh
seperti kota-kota lain seperti Yogyakarta, Ambarawa, Batavia. Ritus tahunan
seperti Hari Pattimura 15 Mei dan telah menjadi ritus budaya tetap dan
melegenda tidak secara otomatis mendongkrak perubahan kewilayahan atau sarana
transportasi laut dan pelabuhan.
Pembangunan di
kawasan ini pun bukan hanya lambat tetapi ‘sulit terlaksana dan sulit
diselesaikan’. Kota-kota lain di Maluku sendiri mengalami perkembangan yang
cukup pesat, dan Lease tetap dibiarkan terkapar di dalam stigma ‘pulau kecil’.
Ini adalah sebuah realitas keterisolasian terencana. Pembangunan kawasan Lease
berlangsung cukup lambat.
Pasar Saparua
dan pasar-pasar tradisional di beberapa negeri sulit berubah wajah. Komoditi
lokal pun terus dalam keadaan seperti itu tanpa ada difersifikasi yang
dilakukan secara terencana. Kelompok papalele dari Lease justru menjadi
kelompok strategis yang menggerakkan pasar di Kota Ambon. Ironinya mereka tetap
berjualan dengan pola-pola tradisional dengan fasilitas apa adanya.
Rencana
pemekaran wilayah Lease menjadi Kabupaten baru terlepas dari Maluku Tengah
kiranya menjadi instrumen untuk mengubah wajah Lease secara radikal. Hal itu
harus disertai dengan perencanaan pembangunan yang tepat dan sesuai dengan
tipikal masyarakat serta kondisi kewilayahan di Lease.
c.
Gelombang III; Gereja
di Tiga Pulau, ‘Panggayo Seng Stop’
Dalam konteks
itu, Pemekaran Klasis GPM Pulau-pulau Lease perlu pula ditempatkan dalam
konteks pertumbuhan pulau-pulau (Haruku, Nusalaut dan Saparua). Klasis perlu
dilihat dalam kerangka perluasan misi gereja di kawasan pulau-pulau sekaligus
usaha untuk mendorong pertumbuhan jemaat di wilayah pulau-pulau ini.
Pemekaran itu
akan memberi isyarat bahwa gereja di pulau-pulau akan lebih dinamis dan umat
dapat dimobilisasi secara mantap untuk menjalankan misi gereja secara lebih
kontekstual dan terfokus. Jemaat-jemaat harus bertumbuh secara cepat dengan
tetap mengedepankan hubungan-hubungan koinonia satu sama lain.
AMGPM di dalam
gelombang perubahan itu ditantang untuk lebih mengenal diri dan lingkungan di
mana ia berada. Program pelayanan AMGPM sudah saatnya dibangun dari realitas kewilayahan
di pulau-pulau di Lease. Bahkan perubahan Maluku Tengah dalam konteks umum
dewasa ini menantang AMGPM dalam Wilayah Maluku Tengah untuk membangun hubungan
antar-daerah, antar-cabang dan antar-ranting yang solid agar AMGPM tidak terus
menjadi obyek melainkan subyek dalam menggerakkan perubahan apa pun di kawasan
ini.
Demikian
paparan ini.
‘Kamu adalah Garam dan Terang Dunia’
PB AMGPM
Disampaikan dalam Study Meeting
MPPD Lease
22 Januari 2012, di Abubu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar