KAMU ADALAH GARAM DAN TERANG DUNIA

Kamis, 31 Mei 2012

AMGPM dalam Konteks Perubahan Perencanaan Pelayanan GPM

 
Oleh. PB AMGPM


I. PENGANTAR
Sebagai wadah tunggal pembinaan pemuda Gereja Protestan Maluku [GPM] Angkatan Muda Gereja Protestan Maluku [AMGPM] mengemban tugas bergereja secara integral. Relasi pelayanan dengan GPM diterjemahkan dalam Amanat Panggilan dan Pelayanan AMGPM sebagaimana termaktub dalam AD/ART AMGPM, bahwa AMGPM mengemban misi pelayanan yang sama dengan misi pelayanan GPM. Dengan kata lain, AMGPM adalah wujud dari GPM secara fungsional. Malah sebagai wadah tunggal pembinaan pemuda GPM, semua warga GPM dalam kategori usia 17-45 tahun dibina melalui AMGPM.
Sadar akan realitas itu, AMGPM pun terpanggil untuk menata dirinya seirama dengan langgam perubahan GPM itu sendiri. Sejak tahun 1983, AMGPM telah meredesain perencanaan pelayanannya mengikuti irama GPM, yakni ketika pemberlakuan PIP/RIPP GPM Dasawarsa pertama 1983-1993. Garis Besar Pokok Program AMGPM diusahakan untuk selaras dengan konsep-konsep pokok pelayanan gereja dalam PIP/RIPP dimaksud.
AMGPM telah mentradisikan perencanaan itu selama ini, sebagai bukti bahwa wadah tunggal ini selalu ada dalam kerangka berjalan bersama dengan GPM sebagai ‘orang tua kandungnya’. Artinya dari sisi perencanaan pelayanan AMGPM mesti dipandang dan diperlakukan serupa dengan wadah-wadah pelayanan dalam gereja, walau secara struktural AMGPM mandiri dalam menata dan mengatur dirinya. Ini sekaligus menunjukkan bahwa dalam sistem pembinaan umat GPM, AMGPM memiliki kekhasan tersendiri.
Pasca Sidang Sinode ke-36, terjadi perubahan-perubahan mendasar yang terkait dengan sistem perencanaan pelayanan gereja. Tata Gereja dan Peraturan Pokok GPM mengamanatkan perubahan yang cukup radikal terhadap pola-pola perencanaan pelayanan GPM. Dari perubahan itu, secara kritis mau ditekankan bahwa terdapat dua dokumen perencanaan pelayanan di GPM yang masih perlu dibenahi hubungannya satu sama lain.
PIP/RIPP sebagai dokumen perencanaan gereja di satu sisi dan Renstra Jemaat di sisi lainnya. Dua dokumen itu menjadi sandaran normatif dalam perencanaan pelayanan GPM, dan tentu menimbulkan persoalan tersendiri di level Jemaat sebagai organisasi yang kini bertindak langsung menyusun Renstra Jemaat. Klasis pada level menengah malah berada pada posisi transisi yang cukup problematis, yaitu mendesain perencanaannya dengan tetap berpola pada PIP/RIPP di sisi tertentu, dan Renstra Jemaat di sisi lainnya. Belum lagi penegasan pasal 29 Tata Gereja GPM bahwa Renstra Jemaat [siap atau tidak] diberlakukan di tahun 2012. Artinya tahun ini menjadi tahun yang ‘berat’ dalam mempersiapkan jemaat-jemaat menerapkan dan memberlakukan Renstra Jemaat sebagai dokumen perencanaan; sekaligus mempersiapkan Klasis berbiasa dalam ritme baru perencanaan gereja.
Hal itu yang menjadi konteks secara internal yang akan diulas dalam tulisan ini. Secara eksternal, perencanaan pelayanan GPM dan AMGPM tentu tidak bisa dibangun terlepas dari desain perubahan di Lease secara khusus, Maluku Tengah dan Maluku serta Maluku Utara secara umum. Dengan demikian tulisan ini menjadi semacam catatan kritis dan reposisi AMGPM dalam dinamika perubahan di GPM dan masyarakat Lease, Maluku Tengah, Maluku dan Maluku Utara.

II. BAGAIMANA AMGPM?
AMGPM secara kritis membaca dinamika perubahan sistem perencanaan pelayanan GPM dengan tetap melihat pada beberapa aspek pokok organisasi, seperti:
a.         Karakteristik kewilayahan GPM dan AMGPM. Keberadaan Ranting-ranting [yang menyatu dengan jemaat-jemaat GPM] di kawasan pulau-pulau di Provinsi Maluku dan Maluku Utara menunjukkan bahwa perlu usaha menata relasi antar-ranting, antar-cabang, antar-daerah, antar-wilayah, dengan penekanan pada pembinaan/pendidikan kader secara tersistem. Agenda ini masih dikerjakan di AMGPM sejak kurun waktu yang lampau dan masih terus dikembangkan dengan tujuan terbangun kesadaran misi bersama agar AMGPM dapat bergerak bersama dalam seluruh tugas pelayanannya.
b.        Kapasitas sumber daya organisasi. Difergensi kader secara sosial dan pendidikan menjadi fenomena tersendiri di AMGPM. Anggota Ranting memiliki latar belakang pendidikan yang berbeda dan bervariasi dari SD sampai Perguruan Tinggi. Sistem perencanaan yang sudah terbangun selama ini dinilai cukup mengakomodasi perbedaan karakteristik kader seperti itu, dan masih cukup relevan.
c.         Dari sisi dokumen perencanaan, Kongres menetapkan GBPP yang menjadi acuan program pelayanan AMGPM. Sesuai dengan AD/ART, setiap badan legislatif di dalam tiap level organisasi bertugas pula menetapkan GBPP yang disesuaikan dengan konteks masing-masing Daerah, Cabang dan Ranting. Artinya ruang desentralisasi sudah tersistem sejak GBPP itu sendiri. Program di tiap level organisasi selama ini dirancang sesuai dengan kebutuhan dan permasalahan di masing-masing lingkup organisasi. Program bersama telah terbangun melalui program-program rutin dan yang menjadi esensi dari tugas organisasi.
d.        MPP ke-25 AMGPM Tahun 2011 telah menetapkan Rencana Pengembangan Organisasi [RPO] sebagai penjabaran teknis dari GBPP untuk memandu proses penyusunan program pelayanan AMGPM tahun 2012-2015, dengan program fokus yakni Pendidikan Kader dan Pemberdayaan Potensi Kader di segala aspek.

Jadi ketika GPM menerapkan Renstra Jemaat, apakah AMGPM harus pula berubah seiring dengan perubahan itu? AMGPM sudah menata ritme perencanaannya secara baru dengan memperhatikan realitas diri dan organisasnya tadi. RPO merupakan sebuah panduan perencanaan yang diharapkan membangun sistem perencayaan secara bersama-sama dan desentral. Tujuannya ada dinamika bertumbuh bersama mulai dari Ranting, Cabang dan Daerah di Maluku dan Maluku Utara. Dari RPO itu, di tahun 2015 akan dibangun sistem yang baru yang diharapkan dapat diselaraskan pula dengan perubahan perencanaan GPM kini dan nanti. Karena itu kami menganggap, pertanyaan tentang bagaimana kesiapan AMGPM dalam dinamika perubahan perencanaan GPM mestinya diperluas dengan pertanyaan bagaimana kesiapan Jemaat dan Klasis dalam merespon dinamika perubahan perencanaan GPM sampai tahun 2015 itu sendiri.

III. GELOMBANG-GELOMBANG PERUBAHAN BESAR LEASE: Perlukah Reposisi AMGPM?
Percakapan tentang perubahan dalam konteks di Lease kiranya dilihat antara perubahan dalam gereja dan perubahan pembangunan di Lease dan/atau Maluku Tengah. Gereja, dalam hal ini Klasis Pulau-pulau Lease dan Lease sebagai sebuah Unit Sosial dalam Pemerintahan di Maluku Tengah sedang ada dalam kondisi transisi yang tidak bisa diabaikan.
Artinya Lease menjadi suatu Lingkungan Strategis yang tidak bisa diabaikan pula dalam strategi perencanaan pelayanan gereja dan organisasi sosial apa pun. Orang-orang Lease berada di ambang transisi sejarah, bergereja, dan pembangunan. Bahkan perubahan perencanaan Gereja [GPM] di Lease mesti dikaitkan juga dengan sejauhmana rencana perubahan kewilayahan di Lease itu sendiri.

a.    Gelombang I; Perubahan Peta Wilayah Pemerintahan
Pemekaran Kecamatan di pulau-pulau Lease merupakan kebutuhan penataan dan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, khusus di era otonomisasi. Hal itu dapat dimaknai pula sebagai adanya semacam keinginan baik [good will] dari Pemerintah untuk memperlebar akses kesejahteraan dan mempersempit jarak kesenjangan antar-wilayah dan antar-masyarakat.
Persoalannya ialah apakah pemekaran kecamatan-kecamatan itu diikuti oleh perbaikan infrastruktur ekonomi dan peningkatan kualitas layanan kebutuhan dasar masyarakat ataukah hanya sebagai sebuah usaha pembagian kekuasaan. Sebagai kawasan pulau-pulau, perhubungan laut menjadi prioritas dan harus dikembagkan sebagai titik transisi perhubungan antar-kabupaten dalam provinsi.
Namun bagaimana realitasnya di dalam pulau-pulau di Lease? Perhubungan darat pun belum didukung oleh sarana-prasarana jalan dan jembatan yang memadai. Hal serupa tampak pula pada perhubungan laut termasuk ‘kelangkaan’ dermaga dan pelabuhan. Jadi perlu mendorong munculnya good will dan political will dari Pemerintah untuk memfasilitasi perubahan radikal di kawasan ini.

b.    Gelombang II; ‘Omba’ Pembangunan ‘Seng Pica di Pinggir Pante’
Lease dapat disebut sebagai situs peradaban merdeka di Nusantara. Perjuangan Thomas Matulessi, Philip Latumahina, Martha Christina Tiahahu, dll merupakan sebuah gerakan peradaban merdeka dalam masa kolonial di Nusantara. Bangkitnya peperangan melawan penjajah di Nusantara tidak bisa dipungkiri terinspirasi dari berita jatuhnya Benteng Durstede di Saparua ke Batavia. Dengan demikian Saparua dan Lease secara umum menjadi situs sejarah merdeka. Namun dalam jangka waktu yang panjang, pulau ini dilupakan. Sebuah penyangkalan sejarah terbentuk di dalam matinya kesadaran sejarah bangsa Indonesia. Saparua tidak bertumbuh seperti kota-kota lain seperti Yogyakarta, Ambarawa, Batavia. Ritus tahunan seperti Hari Pattimura 15 Mei dan telah menjadi ritus budaya tetap dan melegenda tidak secara otomatis mendongkrak perubahan kewilayahan atau sarana transportasi laut dan pelabuhan.
Pembangunan di kawasan ini pun bukan hanya lambat tetapi ‘sulit terlaksana dan sulit diselesaikan’. Kota-kota lain di Maluku sendiri mengalami perkembangan yang cukup pesat, dan Lease tetap dibiarkan terkapar di dalam stigma ‘pulau kecil’. Ini adalah sebuah realitas keterisolasian terencana. Pembangunan kawasan Lease berlangsung cukup lambat.
Pasar Saparua dan pasar-pasar tradisional di beberapa negeri sulit berubah wajah. Komoditi lokal pun terus dalam keadaan seperti itu tanpa ada difersifikasi yang dilakukan secara terencana. Kelompok papalele dari Lease justru menjadi kelompok strategis yang menggerakkan pasar di Kota Ambon. Ironinya mereka tetap berjualan dengan pola-pola tradisional dengan fasilitas apa adanya.
Rencana pemekaran wilayah Lease menjadi Kabupaten baru terlepas dari Maluku Tengah kiranya menjadi instrumen untuk mengubah wajah Lease secara radikal. Hal itu harus disertai dengan perencanaan pembangunan yang tepat dan sesuai dengan tipikal masyarakat serta kondisi kewilayahan di Lease.

c.    Gelombang III; Gereja di Tiga Pulau, ‘Panggayo Seng Stop’
Dalam konteks itu, Pemekaran Klasis GPM Pulau-pulau Lease perlu pula ditempatkan dalam konteks pertumbuhan pulau-pulau (Haruku, Nusalaut dan Saparua). Klasis perlu dilihat dalam kerangka perluasan misi gereja di kawasan pulau-pulau sekaligus usaha untuk mendorong pertumbuhan jemaat di wilayah pulau-pulau ini.
Pemekaran itu akan memberi isyarat bahwa gereja di pulau-pulau akan lebih dinamis dan umat dapat dimobilisasi secara mantap untuk menjalankan misi gereja secara lebih kontekstual dan terfokus. Jemaat-jemaat harus bertumbuh secara cepat dengan tetap mengedepankan hubungan-hubungan koinonia satu sama lain.

AMGPM di dalam gelombang perubahan itu ditantang untuk lebih mengenal diri dan lingkungan di mana ia berada. Program pelayanan AMGPM sudah saatnya dibangun dari realitas kewilayahan di pulau-pulau di Lease. Bahkan perubahan Maluku Tengah dalam konteks umum dewasa ini menantang AMGPM dalam Wilayah Maluku Tengah untuk membangun hubungan antar-daerah, antar-cabang dan antar-ranting yang solid agar AMGPM tidak terus menjadi obyek melainkan subyek dalam menggerakkan perubahan apa pun di kawasan ini.

Demikian paparan ini.
‘Kamu adalah Garam dan Terang Dunia’

PB AMGPM
Disampaikan dalam Study Meeting MPPD Lease
22 Januari 2012, di Abubu



Tidak ada komentar:

Posting Komentar