2
|
1
|
Oleh. Elifas
Tomix Maspaitella
[Ketua Umum PB
AMGPM]
PENGANTAR
Kiprah pemuda Maluku di kancah nasional
dan internasional telah menjadi bagian dari lembaran sejarah kebanggaan
masyarakat Indonesia. Sejak zaman pergerakan kemerdekaan Indonesia, banyak
pemuda Maluku telah menunjukkan patriotismenya demi sebuah arti kebebasan. Di
zaman Indonesia merdeka, bertaburan pula nama-nama pemuda Maluku yang turut
mengharumkan nama Indonesia di berbagai bidang dan arena. Tentu tidak bisa
disangkali masih ada sekelompok lain yang sering berurusan dengan pihak
kepolisian, terbelilit lingkaran narkoba, terhisab ke dalam gank motor, dan lainnya. Pemuda, di mana
pun, berdiri di antara podium prestasi dan panggung kegagalan; di antara pomeo
‘tulang punggung’ dan ‘tukang [baku]pukul’.
Pada posisi di antara itulah,
pembangunan spiritualitas anggota AMGPM menjadi hal yang perlu. Spiritualitas
yang dimaksudkan lebih condong pada gaya hidup yang baru ---roh atau semangat
untuk membarui diri dan lingkungan. Spiritualitas selalu terkait dengan potensi
diri, kreatifitas yang harus mendorong perbuatan [aktifitas] keseharian seorang
untuk mencapai cita-cita/harapan.
Ada tiga sifat spiritualitas yakni (a)
bersifat fungsional ---dalam arti menjadi sumber motivasi untuk mendorong
seseorang berkarya; (b) bersifat membangun ---dalam arti menjadi sumber etik
untuk menumbuhkan rasa percaya diri (self-confidence)
dalam rangka melaksanakan tugas/tanggungjawab tertentu; dan (c) bersifat empati
(belarasa) ---dalam arti gelisah melihat orang lain terkapar di dalam
penderitaan, kelemahan, apatisme, pesimisme, lalu mendorong mereka berprestasi,
sebab hari ini harus lebih baik dari hari kemarin, dan hari esok harus lebih
baik dari hari ini.
Dalam konteks AMGPM, pembangunan spiritualitas
menjadi penting karena berbagai kondisi seperti: (a) tingkat pengangguran terus
tinggi dari waktu ke waktu, seiring dengan (b) tingginya jumlah keluarga
miskin; (c) penyerobotan lahan produksi di pedesaan sehingga masyarakat
terancam terus miskin; karena (d) ijonisasi dan ijonisme yang tetap subur; (e)
pertumbuhan sektor ekonomi informil terus dipacu, tetapi watak ambtenar masih
menguat di kalangan pemuda; (f) ruang belajar untuk hidup bersaudara semakin
terbuka, tetapi pemuda masih menjadi kelompok rentan dari proses pembodohan
atas nama agama dan politik aliran.
SPIRITUALITAS
FUNGSIONAL; BERBASIS AMGPM
Agama-agama bertanggungjawab membina
umatnya. Pemuda merupakan salah satu kategori umat yang terus dibangun dalam
seluruh sendi kehidupan mereka. Kelompok-kelompok pembinaan pemuda pada setiap
agama di Maluku malah terstruktur secara baik. Di GPM, terdapat Angkatan Muda
Gereja Protestan Maluku (AMGPM) yang terstruktur di 26 Daerah, ribuan Cabang
dan Ranting dalam seluruh wilayah pelayanan GPM di Maluku dan Maluku Utara.
Bagaimana hal itu dilakukan di AMGPM?
Sebagai Wadah Tunggal Pembinaan Pemuda GPM, AMGPM bertanggungjawab untuk “membina pemuda gereja sebagai pewaris dan penerus
nilai-nilai Injili agar memiliki ketahanan iman, Iptek, sosio ekonomi, sosio
budaya
dan sosio politik, untuk mewujudkan tanggung jawabnya
dalam kehidupan bergereja, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara” (Pasal 5, AD
AMGPM).
Tugas itu merupakan tujuan AMGPM yang dilaksanakan oleh seluruh
perangkat organisasi mulai dari Pengurus Besar (di tingkat Sinodal), Pengurus
Daerah (di tingkat Klasis), Pengurus Cabang dan Pengurus Ranting (di tingkat
Jemaat) melalui berbagai program kerja yang dikembangkan secara desentral di
masing-masing jenjang kepengurusan sesuai dengan kondisi dan permasalahan di
wilayah pelayanan masing-masing.
Sesuai dengan tujuan ber-AMGPM itu,
panggilan untuk membentuk pemuda yang bertanggungjawab di dalam masyarakat,
bangsa dan negara memberi aksentuasi bahwa organisasi ini pun menjalankan tugas
sebagai bagian dari Organisasi Kemasyarakatan Pemuda (OKP) di Maluku dan Maluku
Utara.
Itu berarti sinergitas proses
pembentukan spiritualitas pemuda di Maluku dapat dengan mudah ditata, ketika
organisasi-organisasi kepemudaan ini bersama-sama meningkatkan fungsinya secara
internal atau dalam satu wahana pemuda lintas-agama di Maluku dan Maluku Utara.
Sebuah forum pemuda lintas agama menjadi perlu dalam rangka membentuk
spiritualitas yang lebih inklusif, pluralis tetapi juga inovatif.
Spiritualitas yang inklusif dimaksudkan
untuk memperkuat basis pemahaman agama di kalangan pemuda. Beberapa program
strategis sudah mesti dirancang, di antaranya pendidikan dan pembinaan teologi
kepada para pemuda untuk mengantisipasi ‘gerakan pembodohan teologis’ yang kini
marak di Indonesia. Proses-proses pembodohan teologis telah dipraktekkan
melalui aksi-aksi anarkhisme dengan membawa simbol-simbol agama. Gerakan-gerakan
itu meninggalkan khitah suci agama sebagai ‘pembawa damai’ atau ‘menghadirkan
tanda-tanda damai sejahtera’ di dunia dan di antara manusia dan alam semesta.
Sebagai kelompok rentan, pemuda menjadi target proses-proses pembodohan
teologis. Karena itu teologi agama-agama sudah bukan lagi urusan akademis di
kampus, melainkan urusan praksis dalam hidup sosial di masyarakat. Teologi
adalah juga praksis (in doing theology),
atau teologi harus menjadi seni kehidupan umat beragama.
Spiritualitas yang pluralis dimaksudkan
untuk membingkai kehidupan antar-umat, sehingga para pemuda lintas agama dapat
memperkuat ‘hidop orang basudara’ yang lebih kreatif dan bermutu di Maluku dan
Indonesia. Khusus di Maluku spiritualitas seperti itu akan sangat memperkuat
basis ketahanan lokal umat, jemaat atau masyarakat. Pluralisme yang adalah
berkat mesti dipahami sebagai kekayaan beragama dan peradaban.
Spiritualitas yang inovatif sebab pemuda
adalah juga ‘tulang punggung’ bagi kesejahteraan keluarga, daerah, gereja dan
bangsa. Spiritualitas inovatif menegaskan bahwa pemuda bertekad melawan
kemalasan, apatisme, pengangguran, budaya kekerasan, narkoba, sex bebas ---dan
melawannya dengan berkarya, berkreasi di berbagai sektor kehidupan.
SPIRITUALITAS
MEMBANGUN; PEMBERDAYAAN POTENSI KADER
Mengapa kecenderungan menganggur cukup
tinggi di Maluku? Selain adanya faktor-faktor struktural, salah satunya ialah
struktur mentalitas ambtenar yang masih menjadi carapandang sekelompok pemuda Kristen
tentang kerja dan usaha. Jika dalam satu tahun Akademik, semua Perguruan Tinggi
di Ambon menghasilkan 3.000 Sarjana dan Diploma baru, pasar kerja di Maluku
hanya mampu menyerap 20% dari total pencari kerja baru ---itu berarti 600
pencari kerja yang terserap ke dalam pasar kerja dalam 1 (satu) tahun. Artinya
ada 2.400 pengangguran intelektual yang siap mengantri untuk tahun berikutnya.
Maka di tahun ke dua, akan ada 4.800 pengangguran intelektual, dan tiap tahun
terus bertambah 2.400 penganggur intelektual baru.
Tingginya angka pengangguran berpengaruh
pada tingginya permasalahan sosial, apalagi di pusat-pusat kota. Berbagai kasus
kriminal, bahaya narkotika, HIV/Aids yang terus menggunung di Maluku,
kecelakaan lalu lintas, terjadi juga karena
para pemuda belum menyibukkan diri dengan kegiatan-kegiatan ekonomi secara
pribadi maupun kelompok.
Seiring dengan otonomi daerah, serta
paradigma ekonomi daerah dengan pendekatan ‘pintu jamak’ (multy gate system), diharapkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru
bertumbuh di setiap daerah melalui pengelolaan potensi sumber daya alam
unggulan yang ada di daerah.
Persoalannya ialah di daerah-daerah
terjadi surplus potensi sumber kekayaan alam, tetapi defisit tenaga kerja
trampil dan ahli. Mereka lebih banyak ‘bermigrasi’ ke kota ---ketika berkuliah,
dan belum atau tidak mau pulang ke daerah asalnya. Sebab itu di sektor formil
seperti Pegawai Negeri Sipil (PNS), terjadi persaingan yang cukup tinggi di
antara para sarjana dan diploma. Karena sesuai alokasi atau kuota penerimaan minim,
maka tidak jarang timbul ‘gelombang protes’ terhadap mekanisme dan kuota
penerimaan PNS.
Jika 2.400 penganggur intelektual tadi
kembali ke daerah masing-masing dan menekuni sektor ekonomi informil, menjadi
wirausaha baru, berarti pusat-pusat ekonomi baru tadi semakin bergairah dan
daerah-daerah secara langsung bertumbuh. Jika pengangguran menurun secara
drastis, terjadi lompatan cepat ke kesejahteraan; kemiskinan teratasi secara
berkelanjutan.
Tinggal political will dari pemerintah untuk ‘mengeksekusi’ dana dan
membuka ‘keran-keran’ pemberdayaan, maka ekonomi perdesaan benar-benar menjadi
primadona di Maluku. Beberapa sektor unggulan seperti di bidang kelautan dan
perikanan, pertanian, perindustrian dan perdagangan serta koperasi dan UKM
perlu ‘di-Maluku-kan’ (baca.dimasyarakatkan). Sebab itu, kerjasama pemberdayaan
antara Pemda dengan organisasi-organisasi pemuda atau kelompok-kelompok
wirausaha baru pemuda merupakan bagian dari usaha membangun spiritualitas
pemuda Maluku. Pembangunan spiritualitas tidak serta merta menjadi tugas
agama-agama dan AMGPM. Agama-agama mengisi ruang pembinaan personal, untuk
memperkuat sumber motivasi etis-injili, etis-religius. Ruang praksisnya
memerlukan koordinasi gerakan bersama dengan pemerintah dan stakeholders
lainnya. Tujuannya ialah spiritualitas membangun menjadi kekuatan untuk melakukan
serangkaian kegiatan positif untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat.
SPIRITUALITAS
EMPATI; MEMULIHKAN PARA ‘KORBAN’
Bahaya narkoba dan penyebaran virus
HIV/Aids yang terus tinggi di Maluku memerlukan pendampingan dan pembinaan yang
intensif khusus di kalangan pemuda Maluku. Dalam rangka itu tidak ada pilihan
lain daripada sebuah spiritualitas empati kepada para ‘korban’ baik dengan jalan
konseling, tetapi juga proses-proses rehabilitasi psikhis. Ini memerlukan
sebuah langkah yang sistematis dan komprehensif. Perlu dibangun pusat-pusat
rehabilitasi dan pemulihan ketergantungan narkoba, minuman keras, ODHA, dan
mereka yang menjadi korban kekerasan fisik dan kekerasan seksual. Sarana
seperti ini mesti dibangun sebagai wahana pemulihan rasa percaya diri sehingga
bisa pula menjadi ‘komunitas eksemplaris’ kepada para pemuda mengenai bagaimana
mengantisipasi berbagai potensi negatif dari perkembangan zaman. Dengan begitu
tingginya pengguna narkoba dan korban HIV/Aids dapat ditekaan. Pembinaan mental
dan spiritual pemuda pun sudah mesti diperkuat pada organisasi basis.
3
|
4
|
Logikanya mereka sejahtera. Ironinya,
mereka tidak bisa bersekolah karena terbatasnya biaya pendidikan. Kawin dalam
usia muda, dan kesulitan mencukupi kebutuhan keluarganya. Hasil jual rumput
laut yang semestinya membuat mereka sejahtera sebaliknya membuat mereka terus
‘terkapar’ dalam kemiskinan karena lilitan ijonisasi.
Karena itu, spiritualitas empati yang
dimaksudkan di sini harus juga mewarnai kebijakan publik di Pemerintahan pada
semua tingkatan untuk mengatur regulasi-regulasi ekonomi yang dapat memutuskan
lilitan ijonisasi dan ijonisme agar masyarakat lebih sejahtera. Keberpihakan
kepada mereka yang ‘miskin di dalam lumbung’ sudah mesti menjadi salah satu
paradigma pembuatan keputusan politik dan publik di daerah (Provinsi,
Kabupaten/Kota). Jika tidak, mereka akan terpaksa ‘menikmati’ kemiskinannya.
SPIRITUALITAS AMGPM
Bagaimana pembinaan spiritualitas
melalui atau oleh AMGPM? Pertanyaan ini sama pentingnya dengan bagaimana
meningkatkan minat pemuda GPM ikut serta di dalam aktifitas ber-AMGPM? Apa yang
hendak disampaikan di sini meliputi dua hal: [a] Dasar teologi pembangunan
spiritualitas AMGPM, dan [b] Usaha membangun spiritualitas AMGPM.
[a] Dasar
Teologi Pembangunan Spiritualitas AMGPM
Moto AMGPM ‘Kamu adalah Garam dan Terang
Dunia’ [Mat.5:13a dan 14a] merupakan imperatif teologi bagi seluruh aspek
pengembangan AMGPM. Moto itu merupakan panggilan
AMGPM secara langsung dari TUHAN untuk ‘memberi manfaat’ dan ‘menjadi
berarti’ bagi dunia dan manusia. Sebagai panggilan,
maka moto itu sekaligus menjadi perintah misi AMGPM yang dalam AD/ARTI
meliputi seluruh tugas pelayanan GPM, baik koinonia, marturia, diakonia dan
pemberdayaan ekonomi [catur pelayanan GPM].
Dalam kaitan dengan spiritualitas, moto
itu menekankan pada:
[1] personalitas atau identitas diri anggota AMGPM.
Subyek ‘kamu adalah…’ dalam moto itu menggambarkan bahwa AMGPM
termotivasi membentuk pribadi kadernya agar mereka ‘menjadi gereja’ yang hidup.
Pembinaan dalam AMGPM difokuskan kepada diri atau pribadi anggota itu sendiri.
Pribadi atau anggota AMGPM memiliki latar belakang sosial yang berbeda-beda dan
ada, tinggal serta hidup di berbagai wilayah dengan dinamika masyarakat yang
berbeda-beda pula. Paradigma keanggotaan yang stelsel pasif mengasumsikan bahwa dari anggota-anggota itu ada yang
aktif berorganisasi ---sehingga program pembinaan dapat menyentuh langsung,
namun ada pula yang tidak atau kurang aktif ---sehingga program pembinaan kurang
menyentuh secara langsung. Sebab itu pembinaan spiritualitas AMGPM tidak bisa
dipisahkan dari GPM, agar penjangkauan terhadap semua anggota, yang adalah
warga GPM, dapat terjangkau secara bersama-sama. Pembinaan personalitas
dilakukan melalui bimbingan rohani, pekabaran injil dan pastoralia. Apalagi
anggota AMGPM juga adalah pemuda di dalam masyarakat yang nyaris tidak terelak
dari berbagai perubahan sosial, termasuk penyakit-penyakit sosial.
[2] kapasitas diri anggota. Subyek ‘kamu
adalah…’ dalam moto itu menegaskan bahwa kapasitas dan kompetensi diri
kader harus ditingkatkan melalui program-program yang terencana. Pendidikan
kader secara berjenjang dan reguler merupakan core dasar yang diharapkan dapat membentuk kapasitas diri anggota
yang meliputi kapasitas keorganisasian, kapasitas teologi dan kegerejaan dan
kapasitas sosial dan IPTEKS. Perlunya pembentukan kapasitas diri kader, melalui
pendidikan kader, sebab anggota AMGPM dewasa ini ditantang dengan
profesionalisme diri di berbagai bidang kerja dan kehidupan. Profesionalisme
mencakup tingginya tingkat pendidikan, peningkatan keterampilan [skill] untuk berusaha dan berkreasi di
berbagai bidang.
[3] Penghayatan terhadap fungsi dan
panggilan. Ada
dua metafora mengenai fungsi dan panggilan AMGPM, yakni ‘menjadi garam dan terang dunia’.
Kedua metafora ini perlu diresapi di dalam pembentukan spiritualitas kader
AMGPM. Maka spiritualitas AMGPM adalah spiritualitas fungsional, membangun dan
empati. Metafora ‘menjadi garam dunia’ menegaskan bahwa kader AMGPM mesti
meningkatkan fungsinya melalui cara mengembangkan potensi yang telah ada di
dalam dirinya. Garam memiliki potensi ‘asin’ di dalam dirinya. Potensi itu
berguna untuk ‘memberi rasa, mengawetkan, menambah cita-rasa [baca. hasrat
untuk makan]’. Oleh potensi itu maka tanpa ‘kehadirannya’ sesuatu [baca. dunia]
tidak akan bermakna. Dunia akan tetap berada di dalam kondisi ‘hambar’; artinya
tidak memberi manfaat bagi manusia dan makhluk lainnya. Padahal dunia adalah
ajang kehidupan. Itulah sebabnya ‘menjadi garam dunia’ berarti memulihkan
fungsi dunia agar benar-benar menjadi ruang kehidupan yang bermakna bagi
manusia dan segala makhluk. Jadi AMGPM dengan metafora itu berfungsi untuk
membangun tata kehidupan dunia yang lebih baik. Ada seperangkat tanggungjawab
yang harus dijalankan, seperti tampak dalam Alinea ke-2 AD/ART yakni “…turut
aktif melayani gereja, masyarakat, bangsa dan negara Indonesia menuju
masyarakat yang adil dan makmur berasazkan Pancasila dalam tugas selaku Rasul,
Imam dan Nabi oleh ketaatan mutlak kepada Yesus Kristus, Tuhan Gereja dan
dunia sampai Ia datang kembali”.
Sedangkan metafora ‘menjadi terang
dunia’memiliki dua arah penting dalam pembinaan spiritualitas, yakni: [1] profesionalisme diri pemuda ---‘sebab tidak
mungkin orang menyalahkan pelita dan meletakkannya di bawah gantang’. Seruan
itu berarti bahwa profesionalisme diri harus dikembangkan sesuai dengan kadar
atau pada jalurnya. Peran anggota AMGPM di bidang apa pun harus benar-benar
dikembangkan secara profesional; [2] agar dunia percaya. Artinya ada pengakuan
tentang profesionalisme kader AMGPM. Sesungguhnya hal ini berkaitan dengan
sejauhmana kita berfungsi atau menjadi semakin profesional. AMGPM sebagai wadah
tunggal pembinaan pemuda GPM dan OKP bertanggungjawab untuk menyelenggarakan
aktifitas yang bermanfaat bagi dunia dan lingkungan sekitarnya.
[b] Usaha membangun spiritualitas AMGPM
Pendidikan Kader merupakan aktifitas
utama AMGPM dalam membentuk kapasitas kader. Di dalam kapasitas itu faktor
spiritualitas kader menjadi hal yang sangat penting. Untuk itu ada beberapa
cara praksis yang perlu dilaksanakan:
5
|
6
|
2]. Pemetaan wilayah dan karakteristik
pembinaan potensi kader. Terdapat 8 (delapan) wilayah AMGPM yang
merupakan satuan-satuan wilayah sosial dengan tipikal daerah serta masyarakat
masing-masing. Hal ini berarti agenda-agenda AMGPM di masing-masing wilayah
harus dirancang secara strategis agar semua potensi [PD, PC, PR] di dalam
wilayah-wilayah itu mengelola agenda-agenda khusus yang sama, yang sesuai
dengan tipikal daerah/wilayah. Ini mencakup pembentukan kader, peningkatan
peran kader di berbagai bidang, kontrol organisasi terhadap pembangunan
wilayah, partisipasi dalam usaha-usaha pembangunan yang sesuai dengan
karakteristik wilayah, peran AMGPM dalam menggerakkan tugas pelayanan gereja di
masing-masing wilayah [bersama Klasis dan Jemaat serta Kring masing-masing].
Program pemberdayaan potensi ekonomi ---dalam kerjasama dengan pemerintah dan
stakeholders lainnya, dapat menjadi salah satu model program pengembangan
wilayah yang penting. Ini memerlukan pembinaan mentalitas usaha dan kerja kader
[mengubah mindset kader].
3]. Penanggulangan masalah-masalah
sosial. Pengangguran,
kemiskinan, kecelakaan lalu lintas, sex bebas dan penggunaan narkoba yang dapat
menjurus pada penularan virus HIV/Aids sudah mesti dijabarkan dalam
program-program pelayanan AMGPM. Dengan demikian semua pemuda gereja akan
mendapat ruang untuk membentuk dirinya. Mengenai pengangguran, ada
kecenderungan para sarjana tidak mau kembali ke negerinya setelah berkuliah di
Kota [Ambon]. Padahal negeri-negeri kita berlimpah potensi kekayaan alam.
Ironinya ialah kita menjadi konsumen sayur, ikan, hasil kebun, yang dijual oleh
pedagang dari luar; yang menanam dan melaut di atas tanah negeri-negeri kita.
Praksisnya, tingkat ekonomi mereka terus terdongkrak naik, dan kita hidup
dengan mengandalkan potensi tanaman umur panjang yang sudah jarang
dikonservasi. Kita mendapat hasil sekali setahun; mereka mendapat keuntungan
setiap hari.
4]. Pembinaan Mental Spiritual, melalui
aktifitas-aktifitas ibadah, meditasi, bible-camp, dan percakapan pastoralia.
Ini memerlukan kerjasama yang intensif dengan gereja, dalam hal ini para
pendeta di Klasis dan Jemaat masing-masing. Sebab sebagai wadah tunggal
pembinaan pemuda GPM, kita harus selalu ada dalam ‘berjalan bersama’
jemaat-jemaat untuk membina pemuda GPM.
Demikian beberapa hal yang dapat
disampaikan guna menjadi pemahaman bersama, dengan berdoa agar usaha-usaha kita
meningkatkan spiritualitas kader AMGPM akan semakin berkembang dari waktu ke
waktu.c
Tetaplah berpegang pada moto kita ‘Kamu adalah Garam
dan Terang Dunia’!
Pembinaan
Spiritualitas
AMGPM
Elifas Tomix Maspaitella
LOGO PERSATUAN PEMUDA MASEHI MALUKU,
cikal bakal AMGPM
Bulatan besar merupakan buah pala jang
mekar. Dalam bulatan itu terdapat gambar segi tiga, sebagai tanda dari
pengakuan Geredja jaitu Allah Tritunggal. Djuga mempunyai arti mentjakup
seluruh kebutuhan kemanusiaan. Salib di tengahnjya menandai penderitaan dan
perdjuangan Kristen di belakang Kristus. Pada dua sudut bawah dari segi tiga
itu terdapat pula gambar bunga tjengkih jang semuanja menundjuk kepada
kepulauan Maluku dengan hasilnja. [P. Tanamal, 1972:26]
Kamu adalah Garam dan Terang Dunia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar